Header Ads

UU ITE dan Kebebasan Berpendapat: Antara Perlindungan dan Ancaman

Di era digital seperti sekarang, menyuarakan pendapat rasanya lebih mudah dari sebelumnya. Cukup satu cuitan, satu story, atau satu video singkat, suara kita bisa menjangkau ribuan bahkan jutaan orang. Tapi, di balik kemudahan itu, ada bayang-bayang regulasi yang bikin sebagian orang takut bicara: UU ITE.

Beberapa tahun terakhir, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sering jadi sorotan karena dianggap jadi "pasal karet" yang bisa menjerat siapa saja, bahkan warga biasa, hanya karena menyampaikan pendapat di media sosial. Di satu sisi, UU ini memang penting untuk menjaga ruang digital tetap aman. Tapi di sisi lain, kalau tidak digunakan dengan bijak, UU ITE bisa jadi alat pembungkam kebebasan berekspresi.

Nah, di artikel ini kita bahas tuntas: sebenarnya apa isi UU ITE, bagaimana kaitannya dengan kebebasan berpendapat, dan bagaimana seharusnya kita menyikapinya?


Apa Itu UU ITE?

UU ITE atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah regulasi yang mengatur aktivitas di dunia digital. Undang-undang ini sudah dua kali direvisi, yaitu pada tahun 2016 dan 2024, untuk menyesuaikan dengan perkembangan teknologi dan tuntutan masyarakat.


Tujuan awal UU ITE sebenarnya baik: melindungi masyarakat dari kejahatan digital seperti penipuan online, peretasan, penyebaran pornografi, hingga ujaran kebencian. Tapi, beberapa pasal di dalamnya, terutama Pasal 27, 28, dan 29, sering kali dipakai untuk menjerat orang-orang yang menyuarakan opini atau kritik, baik terhadap pemerintah, lembaga, maupun individu lain.

Kebebasan Berpendapat dalam Konstitusi

Sebelum bahas lebih jauh, penting kita ingat bahwa kebebasan berpendapat dijamin dalam UUD 1945. Tepatnya di Pasal 28E ayat (3), yang menyatakan:

"Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."

Ini artinya, setiap warga negara berhak menyampaikan pikirannya, baik secara lisan, tulisan, maupun melalui media sosial. Negara seharusnya melindungi hak ini, bukan malah membungkamnya.

Namun, dalam praktiknya, ketika seseorang menyampaikan kritik atau keluhan di media sosial, tidak jarang mereka dilaporkan menggunakan UU ITE, bahkan sampai dipenjara.


Kasus-Kasus yang Jadi Sorotan

Ada banyak contoh di mana UU ITE dianggap digunakan secara berlebihan. Misalnya, seorang ibu rumah tangga di Karawang dilaporkan ke polisi karena mengeluh soal jalan rusak di TikTok. Ada juga aktivis lingkungan yang dikriminalisasi karena menyuarakan dampak buruk tambang di kampung halamannya. Belum lagi kasus-kasus orang biasa yang diseret ke meja hijau karena dianggap menghina atau mencemarkan nama baik melalui unggahan pribadi.

Kasus-kasus ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah kebebasan berpendapat masih aman di Indonesia?


Di Mana Letak Masalahnya?

Masalah utama dalam UU ITE adalah vagueness alias ketidakjelasan makna dalam pasalnya. Istilah seperti “muatan penghinaan”, “pencemaran nama baik”, atau “menyebarkan kebencian” tidak dijelaskan secara spesifik, sehingga tafsirnya bisa sangat luas. Inilah yang disebut pasal karet—mudah ditarik ke mana-mana tergantung siapa yang menafsirkan.

Belum lagi, UU ITE sering dipakai sebagai alat balas dendam pribadi atau politis. Akibatnya, orang-orang jadi takut untuk bersuara. Ruang digital yang seharusnya jadi tempat berdiskusi justru terasa seperti ladang ranjau: salah langkah, bisa meledak.


Perlukah UU ITE Dihapus?

Menghapus UU ITE secara keseluruhan bukan solusi terbaik. Dunia digital memang butuh aturan untuk menjaga etika dan keamanan. Namun, yang perlu dilakukan adalah perbaikan mendasar, terutama pada pasal-pasal yang rawan disalahgunakan.


Pemerintah sudah sempat mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri untuk membatasi penyalahgunaan UU ITE. Tapi SKB bukan undang-undang, dan tidak punya kekuatan hukum yang kuat. Yang dibutuhkan adalah revisi total dengan prinsip transparansi, partisipasi publik, dan perlindungan hak asasi manusia.

Bagaimana Sikap Kita?

Sebagai warga digital, kita punya dua peran:

  1. Bijak dalam menyampaikan pendapat. Pastikan kritik yang kita lontarkan berbasis data, tidak menyerang personal, dan tidak menyebarkan hoaks atau ujaran kebencian.

  2. Aktif mengawal revisi UU ITE. Kita bisa ikut bersuara lewat petisi, diskusi publik, atau kampanye edukasi digital agar UU ini benar-benar melindungi, bukan mengekang.


Penutup: Jangan Bungkam, Tapi Bertanggung Jawab

Kebebasan berpendapat adalah salah satu fondasi demokrasi. Tapi kebebasan itu bukan tanpa batas—ia harus diiringi dengan tanggung jawab dan etika. UU ITE seharusnya hadir untuk menjaga ruang digital tetap sehat, bukan membuat orang takut berbicara.

Sudah saatnya kita mendorong UU ITE yang adil, jelas, dan berpihak pada kebebasan sipil. Karena demokrasi hanya bisa tumbuh jika rakyatnya bisa bicara tanpa takut dikriminalisasi.


Kalau kamu pernah merasa takut bersuara karena UU ITE, kamu tidak sendiri. Tapi diam bukan pilihan. Mari kita bangun ruang digital yang bebas, adil, dan aman—bersama.


Ngopi sambil mikir itu asik. Yuk bagikan artikel ini kalau kamu merasa kebebasan berpendapat harus dilindungi, bukan dibatasi.