Perempuan, Kapitalisme, dan Jerat Estetika Palsu
Gerakan feminisme di berbagai belahan dunia terus melaju, membawa suara tentang kesetaraan, perlawanan terhadap patriarki, dan penghapusan dominasi maskulin yang selama ini melekat pada tubuh dan ruang perempuan. Namun di tengah semangat pembebasan itu, ada satu persoalan yang sulit dihindari: kapitalisme mengintai perempuan melalui wajah-wajah baru yang jauh lebih halus—yakni melalui pasar bebas, merek, dan gaya hidup.
Kapital hari ini tidak hanya menindas secara struktural, tetapi juga
menyusup ke ruang personal perempuan. Ia hadir lewat iklan kecantikan, industri
fashion, skincare, hingga standar tubuh ideal yang dibentuk lewat algoritma
media sosial. Maka tak heran, banyak perempuan yang justru terpenjara dalam
logika konsumsi, menjadikan barang-barang mewah dan kosmetik bukan sekadar
kebutuhan, tapi simbol eksistensi dan pengakuan sosial.
Padahal, di balik semua itu, perempuan sedang dijadikan pasar. Tubuh mereka
menjadi objek dagang, estetika mereka dikomodifikasi, dan pilihan gaya hidupnya
diarahkan oleh kepentingan komersial. Dalam situasi ini, kebebasan menjadi
semu—karena apa yang dianggap sebagai “pilihan pribadi” sering kali telah
dibentuk oleh logika kapital, bukan kesadaran penuh.
Meski begitu, tidak semua perempuan tunduk. Banyak pula yang mulai menyadari
perangkap ini, dan memilih jalur berbeda. Mereka tetap aktif, berdaya, dan
menolak bergantung pada produk-produk yang menawarkan kecantikan instan atau
status sosial. Mereka hadir dengan kesadaran baru: bahwa pembebasan tidak bisa
dicapai jika tubuh dan pikirannya masih dikuasai oleh mekanisme pasar.
Jika perempuan benar-benar ingin melawan, maka ruang perlawanan tak hanya
ada dalam buku atau diskusi. Ia harus menjelma dalam praktik sehari-hari—dalam
cara memilih, cara berpakaian, cara memandang diri, dan cara menolak logika
yang menjadikan tubuhnya komoditas. Melawan kapitalisme bukan sekadar menolak
maskulinitas, tapi juga membebaskan diri dari estetika yang diproduksi oleh
industri global.
Industri kecantikan dan mode hari ini telah menjelma menjadi alat penjajahan
baru. Berbagai merek dan tren menjadikan perempuan sebagai target pasar utama.
Mereka digiring untuk membeli bukan karena butuh, tapi karena ingin diterima.
Di sinilah lahir kesadaran palsu—di mana perempuan merasa berdaya, padahal
sedang dikuasai.
Maka menjadi penting bagi gerakan perempuan hari ini untuk mengembangkan
analisis kritis terhadap bagaimana kapitalisme beroperasi di balik citra, gaya,
dan estetika. Perempuan bukan sekadar korban, tapi juga memiliki potensi
menjadi sarang resistensi. Namun, potensi itu hanya bisa tumbuh jika mereka
mampu membongkar bagaimana kapital menyusup melalui kebutuhan sehari-hari.
Perlawanan terhadap kapitalisme harus dimulai dari cara berpikir. Gerakan
perempuan tidak bisa dibangun di atas panggung kosmetik dan fashion belaka.
Buku dan pena—simbol dari pengetahuan dan kesadaran—harus kembali menjadi
senjata utama. Jika perjuangan hanya dibungkus oleh penampilan, maka jalan
menuju emansipasi akan kabur, bahkan hilang.
Perempuan tidak ditakdirkan untuk menjadi pasar. Mereka adalah subjek
sejarah yang mampu menentukan arah gerakannya sendiri. Tapi untuk itu, mereka
harus berani menolak godaan estetika palsu dan membangun kesadaran
baru—kesadaran yang lahir bukan dari iklan, tapi dari pengalaman, pembacaan,
dan perlawanan.
Post a Comment