Header Ads

Aksi Massa, Objektifikasi Sosial, dan Mandeknya Politik Rakyat

Dalam buku Tan Malaka Aksi Massa (1926), dia menyusun tahapan transformatif untuk mencapai perubahan sejati. Ia tidak berhenti pada penyulut semangat pemuda, sebagaimana dalam Semangat Moeda, ataupun pada perdebatan sistem politik ideal seperti dalam Soviet atau Parlemen?. Tan meyakini, tanpa strategi konkret yang melibatkan rakyat sebagai kekuatan utama, perubahan sejati hanyalah mimpi. Baginya, jalan revolusi bukan dijalani oleh elite semata, tapi oleh keterlibatan aktif rakyat, khususnya buruh, petani, dan kaum miskin kota, sebagai penggerak sejarah. Perubahan tidak datang dari kompromi di ruang kekuasaan, melainkan dari keberanian rakyat yang sadar, terorganisir, dan bersatu dalam perjuangan politik.

Namun kini, hampir satu abad kemudian, cita-cita besar Tan Malaka belum menjelma. Gerakan rakyat yang ia harapkan—yakni gerakan yang berpijak pada kesadaran kelas, ideologi pembebasan, dan strategi radikal—masih belum tumbuh kokoh. Meski rakyat sempat turun ke jalan dalam berbagai momentum, seperti Reformasi 1998 atau gelombang protes sosial lainnya, sebagian besar bersifat sementara, terputus, dan mudah dilumpuhkan. Gerakan-gerakan tersebut lebih banyak bersifat reaktif dan jarang memiliki kontinuitas atau akar struktural yang kuat untuk mengguncang ketimpangan yang diwariskan sejak masa kolonial.

Pertanyaannya kini bukan hanya mengapa strategi Tan tidak berhasil, tetapi mengapa kita tidak benar-benar berupaya mewujudkannya? Mengapa masyarakat kerap hanya menjadi pendukung pasif dalam narasi perjuangan, bukan menjadi pengarah utama sejarahnya sendiri? Apakah hambatan terbesar semata berasal dari tekanan politik yang represif, atau ada juga persoalan psikososial yang membuat rakyat terjebak dalam posisi yang tak memberdayakan?

Dalam konteks inilah, kita perlu membawa perspektif baru untuk membaca ulang kegagalan itu. Salah satu pendekatan yang relevan adalah Objectification Theory, sebuah teori yang awalnya berkembang dalam psikologi feminis—terutama dari karya Barbara Fredrickson dan Tomi-Ann Roberts. Teori ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana tubuh perempuan sering kali diperlakukan sebagai objek pasif dalam budaya patriarkal. Namun dalam konteks yang lebih luas, konsep ini juga bisa digunakan untuk memahami bagaimana kelas-kelas masyarakat tertindas—buruh, tani, dan kaum miskin—sering kali tidak dianggap sebagai individu merdeka, melainkan sekadar alat dalam proyek politik kekuasaan.

Dalam praktik politik Indonesia, rakyat kerap hanya "dibutuhkan" saat momen tertentu: menjadi massa aksi, pemilih dalam pemilu, atau alat tekanan dalam konflik elite. Setelah itu, mereka ditinggalkan—tanpa pendidikan politik, tanpa penguatan kapasitas, dan tanpa ruang partisipasi berkelanjutan. Dalam logika objektifikasi ini, rakyat tidak dipandang sebagai manusia yang berpikir dan bertindak atas kesadarannya sendiri, tapi sebagai sumber legitimasi atau kekuatan tekan sesaat yang bisa ditinggal kapan saja.

Tan Malaka jelas menolak cara pandang seperti itu. Dalam Aksi Massa, ia menekankan pentingnya pendidikan politik dan pembentukan kesadaran kelas. Namun tanpa membebaskan rakyat dari statusnya sebagai objek sosial, strategi revolusioner semacam itu akan selalu gagal tumbuh. Masyarakat yang terobjektifikasi akan mudah dimanipulasi, tercerai-berai, dan akhirnya menjauh dari perjuangan yang seharusnya mereka pimpin sendiri.

Oleh karena itu, kegagalan mewujudkan visi Aksi Massa tak cukup hanya dilihat dari lemahnya organisasi massa atau represi negara. Ada struktur sosial yang secara sistemik menjauhkan rakyat dari posisi sebagai subjek aktif politik. Proses depolitisasi dan objektifikasi ini bukan hal baru—ia berlangsung sejak masa kolonial dan terus dipertahankan hingga hari ini oleh sistem demokrasi elektoral yang lebih mementingkan jumlah suara daripada kualitas kesadaran.

Warisan Tan Malaka sebenarnya jauh lebih progresif dari zamannya. Ia tidak sekadar menawarkan metode teknis perjuangan, tapi merumuskan sebuah visi pembebasan di mana rakyat menjadi penentu arah sejarah, bukan sekadar alat kekuasaan. Namun, agar visi ini hidup, kita tidak cukup hanya mengandalkan semangat ideologis atau retorika perubahan. Harus ada upaya untuk mencabut akar objektifikasi itu sendiri—yakni membebaskan rakyat dari status sebagai objek sosial yang diwariskan dari sistem kolonial dan dilanggengkan oleh kuasa hari ini.

Objectification Theory memberi kita pisau analisis penting: selama rakyat terus diposisikan sebagai instrumen politik belaka, semangat Aksi Massa akan terus menjadi romantisme historis, bukan kekuatan perubahan nyata. Jika kita ingin sungguh-sungguh meneruskan warisan Tan Malaka, maka tugas kita bukan hanya menggerakkan massa, tetapi mengembalikan rakyat pada posisi kemanusiaannya—sebagai pelaku sejarah, bukan alat kekuasaan.