Header Ads

Sunyi yang Terstruktur: Mengapa Mahasiswa Tak Lagi Lantang?

Dulu, diam bisa jadi simbol protes yang hening namun kuat. Tapi hari ini, dalam suasana kampus yang penuh tuntutan akademik, sertifikasi, dan obsesi pencitraan, diam lebih sering lahir dari kelelahan sistemik. Ungkapan seperti “lebih baik fokus studi” atau “buat apa ikut demo?” kini menjadi tanda bahwa keberanian mahasiswa telah terpinggirkan, bukan karena lemah, tetapi karena ruang untuk bersuara makin sempit.


Tekanan Sistemik dalam Dunia Kampus

Mahasiswa hari ini dituntut untuk sempurna: IPK tinggi, lulus tepat waktu, aktif berorganisasi, fasih berbahasa asing, punya portofolio kerja, dan siap masuk pasar kerja yang semakin kejam. Dalam situasi ini, berbicara kritis atau mengambil sikap politik sering kali dianggap mengganggu. Bahkan, tak jarang beasiswa dan penghargaan menjauhi mereka yang vokal. Maka wajar bila banyak mahasiswa memilih diam, bukan karena tak peduli, tapi karena sistem tak memberi ruang aman untuk bersuara.


Hegemoni yang Membentuk Kesadaran

Dalam pandangan Antonio Gramsci, hegemoni bukan hanya dominasi kasar, tapi kuasa yang membentuk kesadaran agar ketidakadilan terlihat normal. Mahasiswa dididik untuk patuh, bukan menggugat. Pendidikan yang seharusnya membebaskan, justru membentuk individu agar diam dan produktif sesuai kebutuhan sistem. Keluarga, dosen, hingga media ikut memperkuat narasi bahwa “aman adalah segalanya”. Diam pun menjadi bentuk adaptasi, bukan pilihan bebas.


Ketika Organisasi Kehilangan Fungsi Ideologis

Ironisnya, organisasi mahasiswa yang seharusnya jadi ruang ide dan keberpihakan malah terjebak dalam formalitas. Kaderisasi sebatas agenda, diskusi diganti lomba, isu sosial tergantikan oleh dekorasi acara. Tak ada lagi ruang ragu, apalagi ruang salah dan belajar. Akibatnya, gerakan kehilangan napas. Mahasiswa tercerabut dari sejarah gerakannya sendiri—lebih sibuk menyelesaikan program kerja daripada memahami arah perjuangan.


Membangun Kembali Ruang Refleksi

Tapi semua ini belum final. Kita masih bisa membuka jalan. Gerakan tak selalu soal demo massal. Gerakan bisa dimulai dari forum kecil, diskusi buku, tulisan pendek, nonton bareng film kritis, hingga unggahan di media sosial. Yang penting bukan jumlahnya, tapi kesadarannya. Kampus perlu ruang untuk berpikir, bukan hanya menghafal dan mengikuti prosedur.


Organisasi sebagai Rumah Ide

Organisasi mahasiswa harus kembali menjadi rumah ide—tempat bertanya, ragu, berpihak, salah, lalu belajar. Bukan sekadar tempat mengejar sertifikat dan portofolio. Kita harus menciptakan suasana yang memungkinkan keberanian tumbuh perlahan, tanpa paksaan, tanpa penghakiman.


Diam Bukan Apatis, Tapi Sinyal Bahaya

Kita tidak boleh terburu-buru menuduh mahasiswa apatis. Sebaliknya, kita harus bertanya: struktur apa yang membuat mereka kehilangan keberanian? Diam bukan dosa. Tapi diam berjamaah adalah tanda bahwa ada yang keliru—dalam cara kita mendidik, berorganisasi, dan memahami politik.


Penutup: Menyalakan Kembali Kesadaran

Paulo Freire mengingatkan bahwa pendidikan sejati membangkitkan kesadaran. Dan kesadaran itu dimulai dari keberanian untuk membaca dunia, termasuk membaca diam. Karena di balik diam, bisa saja tersembunyi ketakutan, kelelahan, atau bahkan bibit perubahan yang belum tumbuh.

Gerakan mahasiswa tidak harus menunggu semuanya bersuara. Cukup satu orang yang berani bertanya, dan satu ruang yang mau mendengar. Dari sanalah perubahan bermula.

A luta continua. Perjuangan belum selesai.